TANGANI BANYAK KASUS: Khairuddin di ruang operasi milik RSPB.
DOKTER Khairuddin, SpB menyambut kedatangan Kaltim Post dengan hangat, awal pekan lalu. Siang itu, di sela-sela kesibukannya, media ini mendapatkan kesempatan berbincang-bincang dengannya di Rumah Sakit Pertamina Balikpapan (RSPB). Pria berusia 49 itu mengajak koran ini melihat ruang operasi, tempat di mana biasa dia bekerja.
Ia menjelaskan, secara general, dokter bedah umum harus menghadapi semua pasien dari berbagai macam penyakit yang memerlukan tindakan bedah. Mulai pasien usus buntu, hernia, tumor hingga hemoroid. “Paling sering yang termasuk bedah digestif, yaitu bedah yang berhubungan dengan perut,” tuturnya.
Menurutnya, tantangan terbesar datang saat menghadapi pasien akibat kecelakaan. Contoh kasusnya, ketika pasien datang dengan pendarahan yang hebat dalam perut. Sebagai dokter, ia harus mencari tahu terlebih dahulu dari mana sumber pendarahan berasal.
“Kesulitan kami harus mencari tahu apa yang terjadi dengan tubuh pasien. Operasinya pun emergency, tidak terencana. Sehingga tindakannya harus cepat agar pasien tidak kehabisan darah. Mungkin sekitar 30 menit operasi harus selesai,” jelas anggota Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Balikpapan.
Seperti salah satu kasus kecelakaan yang pernah ditangani olehnya, korban mengalami pendarahan hebat di perut akibat limpa yang pecah. “Jujur saja, saat itu tensi korban sudah drop yang artinya pompa jantung sudah lemah. Harapan itu mungkin sudah tipis. Namun, dengan kesigapan dan kecepatan, alhamdulillah kami berhasil menemukan sumber pendarahan dengan cepat,” ungkapnya.
Khairuddin mengatakan, ia sering bertemu pasien dengan kasus yang berat dan tingkat kesembuhan yang kecil. Namun, mereka berhasil sembuh, karena semasa hidupnya, pasien adalah orang baik.
“Mungkin orang lain merasa aneh, tapi bagi kami orang yang berada di dunia kedokteran, hal keajaiban seperti itu sering terjadi,” ungkap anak dari pasangan Abdul Kadir (almarhum) dan Fatimah, tersebut.
Ia menambahkan, kasus-kasus yang diperkirakan sudah tidak mungkin sembuh, justru seperti mendapat bantuan dan mukjizat yang hebat. Sebab, ia meyakini di balik kekuatan medis, masih ada tangan Tuhan yang akan membantu pasien.
Berdasarkan pengalamannya, medis itu hanyalah sebuah jalan. Tetapi, kekuatan terbesar tetap pada doa. “Saya terus ucapkan itu kepada orang-orang terdekat pasien, karena itu bisa memberikan efek yang luar biasa,” tuturnya. Dengan begitu, Khairuddin merasa lebih tenang selama proses operasi. Karena banyak dukungan yang diberikan kepada pasien melalui doa.
Menurutnya, kesulitan menjadi seorang dokter bedah justru terletak dalam komunikasi. Bagaimana dirinya bisa menciptakan komunikasi dua arah antara dokter dan pasien. Sehingga tidak ada unsur pemaksaan jika pasien harus menjalani tindakan operasi. Sebab, terkadang istilah operasi masih terdengar menakutkan bagi pasien.
Maka, ia berusaha mengedukasi pasien dan menumbuhkan rasa kepercayaan pasien padanya. “Harus punya waktu lebih dan mau menjelaskan kepada pasien tentang apa saja yang akan dilakukan, bagaimana proses dan risiko operasi harus disampaikan dengan jujur,” ungkapnya.
Rasa kejujuran juga menjadi pesan penting yang diberikan almarhum sang ayah kepadanya. Jujur dalam hal apapun, termasuk jujur dengan pasien. Diskusikan tentang pilihan dan konsekuensi yang akan mereka alami.
“Jadi, kejujuran adalah sebuah modal awal. Sekali kita berbohong, maka akan menciptakan rangkaian kebohongan lainnya. Saya pun tidak ingin suatu hari dituntut oleh pasien kalau saya tidak jujur,” tutur pengurus Palang Merah Indonesia Balikpapan itu.
Jika menilik kisah perjalanannya sebagai dokter, Khairuddin merupakan mahasiswa lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada tahun 1993. Ia sempat menjadi dokter berstatus pegawai tidak tetap (PTT) di Long Iram, Kutai Barat selama empat tahun.
Pria yang gemar futsal itu kemudian memutuskan melanjutkan sekolah di kampus yang sama dengan mengambil program spesialis bedah dan lulus tahun 2003. Ia menuturkan, dirinya memang tertantang masuk dunia kedokteran yang dekat dengan tindakan.
Baginya, menjadi dokter spesialis bedah memiliki kepuasan tersendiri. “Karena kalau berhubungan dengan tindakan, hasil pengobatannya akan cepat terlihat. Jadi tahu apa pekerjaan yang dilakukan benar atau salah,” ungkapnya.
Kali pertama, Khairuddin bertugas menjadi dokter bedah umum di RSUD AM Parikesit Tenggarong tahun 2003-2005. Namun, selama dua tahun kemudian, akhirnya dia memilih menjadi bagian dari RSPB. Niatnya memang karena ingin kembali dan mengabdi pada kota kelahirannya di Balikpapan.
Selain menjadi dokter, ia juga memiliki kesibukan sebagai instruktur Advanced Trauma Life Support (ATLS). Khairuddin menjadi instruktur minimal enam kali dalam setahun. Karena berskala nasional, maka dia harus mengajar di berbagai kota di Indonesia.
“Mengajarkan penanganan trauma, baik teori maupun praktik. Dengan mengajar, saya merasa senang karena seperti me-refresh ilmu,” ujar Sekretaris PC Perhimpunan Ahli Bedah Indonesia (PABI) Kaltim itu. (rom/k15)