dr. Riza Fitria dibawah bimbingan dr. Elies Pitriani Sp.P
Virus Corona merupakan family virus yang menyebabkan penyakit flu mulai dari gejala ringan hingga berat, salah satunya adalah Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS-CoV). Akhir tahun 2019 WHO mendapatkan informasi mengenai lonjakan kasus pneumonia di kota Wuhan, Provinsi Hubei Cina. Dua bulan setelahnya pada Februari 2020 ditemukan bahwa lonjakan tersebut diakibatkan oleh jenis virus Corona terbaru yaitu Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) yang menyerang sistem pernafasan. Penularan virus Corona sangat cepat hingga menyebar ke hampir semua negara termasuk Indonesia dalam waktu beberapa bulan. Seiring berjalannya waktu virus ini mengalami perkembangan dan memunculkan varian baru dengan sifat dan gejala yang berbeda. Sejauh ini yang telah termasuk varian yang menjadi perhatian diantaranya Delta, Alpha, Beta, Gamma dan yang terbaru adalah Omicron.
Pada pertengahan tahun 2021 COVID19 varian delta telah menyebabkan peningkatan kasus yang cukup pesat sehingga menimbukan gelombang kedua pandemi di berbagai negara. Indonesia sudah melewati fenomena tersebut dan trend kasus mulai menurun diikuti dengan dilakukannya pelonggaran PPKM di berbagai wilayah dan mobilitas masyarakat pun ikut meningkat. Namun di akhir tahun 2021, WHO mengungumumkan adanya varian terbaru COVID19 yaitu varian COVID19 B.1.1.529 atau Omicron. World Health Organization (WHO) telah menetapkan varian tersebut menjadi Variant of Concern (VOC) atau varian yang menjadi perhatian sehingga menimbulkan kekhawatiran di berbagai negara. Pemerintah Republik Indonesia sendiri juga telah mengeluarkan himbauan melalui Surat Edaran HK.02.01/MENKES/1391/2021 mengenai Pencegahan dan Pengendalian Varian Omicron guna mengantisipasi lonjakan kasus yang mungkin terjadi akibat varian baru tersebut.
Pertama kali diidentifikasi di Afrika Selatan pada 24 November 2021, varian Omicron telah menyebabkan peningkatan kasus yang pesat hingga 3.000 kasus di akhir bulan. Selain itu varian ini juga terdeteksi di Bostwana pada bulan yang sama dan telah menyebar ke lebih dari 100 negara di dunia yang berkaitan dengan kasus perjalanan. Pada akhir November 2021, kasus pertama varian Omicron di Indonesia terdeteksi dan tertanggal 8 Januari 2021, kasus yang diakibatkan oleh varian ini mencapai 318 orang. Hal ini tentu menambah jumlah kasus secara keseluruhan sehingga kasus COVID19 di Indonesia mengalami peningkatan.
Varian Omicron terbentuk akibat adanya mutasi yaitu perubahan struktur dan sifat dari sebuah virus akibat adanya kesalahan dalam proses replikasi/perkembangbiakan virus di dalam tubuh inang tempat virus berkembang. Mutasi bertujuan agar virus dapat mengelabui respon imun yang dapat menghambat proses replikasi. Kesalahan ini akan menyebabkan perbedaan sifat antara virus anakan dan virus induknya. Virus baru yang terbentuk akan lebih kuat dan mudah untuk berkembangbiak. Hasil dari mutasi ini yang kita sebut sebagai varian.
Sekuens gen dari varian Omicron menunjukan mutasi yang lebih banyak dibandingkan varian Delta COVID19. Peneliti menemukan 43 mutasi protein spike pada varian Omicron jika dibandingkan 18 mutasi pada varian Delta. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Milan State Uiversity, jumlah mutasi tidak secara otomatis menyatakan varian ini lebih berbahaya, tapi lebih menunjukkan bahwa virus telah melakukan adaptasi lebih lanjut terhadap manusia dengan cara menghasilkan varian lain.
Hal pertama yang menjadi perhatian mengenai Omicron adalah kemampuan transmisi/penularan varian ini. Omicron memiliki 45-52 mutasi asam amino dibandingkan strain awal yang meningkatkan kemampuan replikasi. Beberapa mutasi tersebut mampu membuat virus ini mengelabui sitem imun. Menurut UK Health Society Agency di banding dengan varian Delta, Omicron memiliki afinitas/kemampuan mengikat yang lebih tinggi terhadap reseptor Angiotensin-Converting Enzyme-2 (ACE-2), yaitu tempat penempelan virus Corona di dalam tubuh. Hal-hal tersebut diduga yang menyebabkan tingkat kemampuan penularan varian Omicron lebih tinggi dari varian sebelumnya, namun hal ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Pertanyaan lain muncul berkaitan dengan gejala yang ditimbulkan oleh Omicron. Berbagai negara seperti Amerika, Inggris, dan beberapa negara lain menunjukkan bahwa infeksi varian Omicron tidak menimbulkan gejala apapun hingga hanya berupa gejala ringan. Berbeda dengan varian sebelumnya, sejauh ini tidak ditemukan adanya keluhan gangguan indera penciuman dan perasa seperti yang terjadi pada infeksi varian delta. Data awal yang didapatkan di Afrika Selatan menunjukkan tingginya angka rawat inap namun hal ini diduga karena tingginya jumlah kasus saat ini. Menurut Kementrian kesehatan di Indonesia infeksi Omicron tidak menunjukkan gejala hingga hanya gejala ringan berupa batuk dan pilek. Belum diketahui secara pasti apakah varian ini menyebabkan gejala yang lebih berat dibandingkan sebelumnya.
Vaksin turut andil dalam menekan perkembangan penyakit. Dari hasil pengamatan yang dilakukan di berbagai negara, orang yang sudah mendapatkan dosis vaksinasi lengkap memiliki gejala yang lebih ringan daripada yang belum. Penelitian terus dilakukan untuk melihat dampak potensial varian ini terhadap vaksin. Meskipun demikian, vaksin yang beredar saat ini masih efektif untuk mencegah gejala berat dan kematian. Saat ini cakupan vaksinasi di Indonesia telah mencapai 77,28% untuk dosis pertama dan 54,51 % untuk dosis kedua. Pemerintah terus berupaya menggalakkan program vaksinasi agar tercapai target sehingga kekebalan komunitas / herd immunity dapat terbentuk.
Bagi individu yang pernah terinfeksi COVID19 sebelumnya, Omicron tetap dapat menyebabkan infeksi berulang. Bukti awal yang ditemukan menunjukkan adanya kemungkinan peningkatan risiko reinfeksi akibat varian Omicron jika dibandingkan yang lain. Namun data mengenai hal ini masih terbatas dan dalam tahap penelitian. Tingginya tingkat penyebaran Omicron berisiko dapat menyebabkan lonjakan kasus yang berujung pada terjadinya gelombang ketiga. Belajar dari fenomena gelombang kedua di Indonesia, kita harus mengantisipasi kenaikan kasus yang mungkin terjadi. Hal yang perlu ditekankan pada setiap individu adalah jangan panik, tetapi jangan juga bertingkah acuh tak acuh dalam situasi seperti ini. Pandemi COVID19 adalah masalah bersama dan tentu dalam kita harus bahu membahu dalam penyelesaiannya. Saling menjaga satu sama lain dengan menerapkan protokol kesehatan 5M dengan baik merupakan salah satu kunci yang berperan besar dalam penanganan pandemi sekarang ini. Mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas merupakan pedoman yang harus kita jalani saat ini. Sejalan dengan itu kita semua memiliki peran untuk membentuk sebuah kekebalan komunitas dengan mengikuti program vaksinasi yang dijalankan oleh pemerintah terutama untuk kelompok prioritas seperti lansia, tenaga kesehatan, dan kelompok yang rentan tertular COVID19. Peran pemerintah juga ikut andil dalam penyelesaian masalah ini, persiapan infrastruktur dan sumber daya manusia yang memadai harus dipersiapkan sedini mungkin guna mengantisipasi lonjakan kasus yang mungkin terjadi. Penemuan varian Omicron saat ini bukan hanya menjadi masalah terbaru yang mengkhawatirkan namun hal tersebut dapat kita jadikan pengingat agar senantiasa menjaga diri kita dan orang sekitar agar terhindar dari infeksi virus Corona dengan menjalankan protokol kesehatan.